SURABAYA — Suasana Situs Joko Dolog, Taman Apsari Surabaya, pada Senin malam 17 November 2025, terasa berbeda dari biasanya. Ratusan warga menghadiri sebuah sarasehan budaya dan sejarah yang digelar untuk memperingati 736 tahun Prasasti Wurare—prasasti penting peninggalan Singhasari yang menjadi simbol keteguhan, kebijaksanaan, dan jati diri Nusantara.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber Panji Putra Sriwijaya, S.Sos, dan terselenggara atas inisiatif Ketua Paguyuban Abdi Dalem Eyang Joko Dolog, Bapak Anam, SH. Melalui forum terbuka ini, masyarakat diajak merenungkan kembali arti kepahlawanan dalam perjalanan bangsa, khususnya melalui kacamata sejarah Kota Surabaya.
Surabaya 1945: Saat Kota Menjadi Benteng Terakhir Kemerdekaan
Dalam pemaparannya, Panji Putra Sriwijaya menggambarkan kembali bagaimana Surabaya pada akhir tahun 1945 berubah menjadi pusat perlawanan terbesar setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Kota ini menjadi saksi bahwa kemerdekaan tidak jatuh dari langit, tetapi diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan.
Akar konflik di Surabaya mulai terlihat sejak rakyat menurunkan bendera Belanda di sebuah bangunan penting dan mengibarkan Merah Putih sebagai tanda penolakan terhadap kembalinya penjajahan. Ketegangan makin meningkat ketika pasukan Sekutu mendarat pada 25 Oktober 1945, diikuti insiden tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober yang memicu pecahnya peperangan besar.
Pertempuran 10 November: Ketika Arek-arek Suroboyo Menolak Menyerah
Ultimatum Sekutu yang memerintahkan rakyat Surabaya menyerahkan senjata justru menjadi pemantik tekad perjuangan. Menyerah berarti kembali berada di bawah kendali kolonial. Maka, pada 10 November 1945, Surabaya menjawab intimidasi dengan keberanian.
Serangan besar-besaran pasukan Inggris dibalas oleh perlawanan rakyat dari berbagai penjuru kota. Meski bersenjata seadanya, arek-arek Suroboyo bertempur tanpa gentar. Pertempuran yang berlangsung berminggu-minggu ini menjadi tonggak sejarah yang membuat Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Hari Pahlawan: Warisan Semangat yang Tak Lekang oleh Waktu
Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bangsa ini berdiri di atas keberanian mereka yang menolak tunduk pada penindasan. Momen ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai keikhlasan, keteguhan, dan pengorbanan para pejuang.
Generasi Baru, Tantangan Baru
Dalam penutup sarasehan, ditekankan bahwa tantangan generasi kini tidak lagi berupa peperangan fisik, melainkan perjuangan menjaga integritas, memelihara persatuan, dan membangun Indonesia yang bermartabat. Semangat keberanian para pahlawan harus hadir dalam kerja nyata, inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat.
Kegiatan ini ditutup dengan doa bersama dan pesan agar nilai-nilai luhur dari Prasasti Wurare serta semangat kepahlawanan Surabaya terus dijaga oleh generasi penerus.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
