Jejak di Tanah Lumajang: Ketika “Polri Menyapa” Menjadi Ziarah Kemanusiaan


Lumajang, Kabut pagi masih menggantung di perbukitan ketika beberapa sosok berseragam cokelat muda berjalan menyusuri jalan kampung yang sempit. Tak ada sirine, tak ada barisan kendaraan dinas. Yang terdengar hanya sapaan hangat dan langkah ringan yang membawa sesuatu lebih berharga daripada surat tugas — mereka membawa pelayanan, membawa empati, membawa harapan.

Hari itu, Satpas Polres Lumajang kembali menggelar program “Polri Menyapa”, sebuah inisiatif yang mengubah paradigma birokrasi menjadi wajah kemanusiaan. Di bawah langit biru yang mulai merekah, pelayanan administrasi kepolisian hadir langsung di tengah warga — bukan di balik loket, melainkan di pelataran rumah-rumah sederhana.

Warga tak lagi menyeberang jarak, tak perlu menunggu dalam antrean panjang, dan tak khawatir soal biaya. Petugaslah yang datang — membantu pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) gratis bagi warga kurang mampu, mendengar aspirasi, dan menyalakan kembali makna kehadiran negara di akar kehidupan rakyat.

“Kami datang bukan hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga menegakkan kepedulian,”
ujar seorang petugas Satpas, sambil menuntun seorang pemuda mengisi formulir pembuatan SIM di beranda rumah warga.

Di bawah rindang pohon jambu, percakapan mengalir tentang keselamatan berkendara, etika di jalan, dan arti tertib lalu lintas. Tak ada batas antara seragam dan rakyat — hanya kehangatan dan rasa saling menghargai yang menautkan mereka dalam ruang kemanusiaan yang sama.

Seorang warga sepuh, dengan tangan gemetar, menggenggam tangan petugas sambil berkata lirih,

“Saya kira negara sudah lupa pada orang kecil seperti kami. Tapi ternyata, masih ada polisi yang mau datang dan mendengar.”

Kata-kata itu menembus batas formalitas, menggema dalam hati setiap petugas yang hadir. Sebab di sanalah hakikat pelayanan sejati menemukan bentuknya: pelayanan yang tidak berhenti pada tanda tangan dan cap stempel, melainkan menyentuh nurani dan kehidupan.

Menjelang senja, kegiatan ditutup dengan dialog terbuka. Di atas tikar sederhana, warga dan petugas duduk bersila bersama — berbagi kisah, keluh, dan harapan. Tak ada jarak jabatan di antara mereka, hanya tekad untuk menjadikan hukum lebih manusiawi dan pelayanan lebih bermakna.

Ketika matahari tenggelam di ufuk Lumajang, langkah para petugas meninggalkan jejak di tanah yang lembap — jejak bukan dari perjalanan dinas, melainkan ziarah kemanusiaan.
Dari program “Polri Menyapa” inilah, wajah kepolisian tumbuh dalam warna baru: lebih hangat, lebih dekat, dan lebih berjiwa.

Penulis Ilham 

Lebih baru Lebih lama